Istilah ‘ulama amplop’ mungkin baru dikenal sejak 1970’an. Terutama saat-saat menghadapi pemilihan umum. Karenanya, tokoh Betawi H Irwan Sjafi’ie (75 tahun), berani memastikan istilah itu hampir tidak pernah terdengar dimasa lalu. Seperti dalam Pemilu pertama 1955, para ulama di Jakarta ada yang berpihak pada Masyumi dan NU. Tapi biaya kampanye keluar dari kocek masing-masing dan simpatisan. Para ulama dulu tidak ada yang komersial, kata H Abdul Rasyid (65 tahun), yang ketika mengaji tahun 1950’an berguru pada mualim Sanif di Krukut Tengah, Jakarta Barat.
H Irwan dan Abdul Rasyid sangat mengagumi para guru agama mereka. Sangat berwibawa dan hidup ditengah-tengah masyarakat. Mereka menjadi tempat bertanya dan mengadu warga. Tiap ada acara warga mereka datang tanpa meminta imbalan uang. Tidak heran bila ada perselisihan, warga lebih menyukai minta pendapat mualim dari pada ke RT-RW, kata Abdul Rasyid, yang kini menjadi bendahara Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB). Sedangkan H Irwan Syafi’ie mengibaratkan, kehadiran para ulama sebagai penyejuk dan benteng moral yang kokoh menanamkan ajaran agama. Mereka hidup sangat tawadhu, akhlakul karimah.
Begitu berwibawanya mereka, hingga bila terjadi keributan antarwarga biasanya selesai bila ditangani ulama. Bahkan, bila ada orang berniat jahat, niatnya urung setelah dinasehati ulama. Begitu dihormatinya para ulama, hingga mereka sangat disegani para jagoan dan penjahat, tutur Irwan Sjafi’ie mengenang masa-masa ia mengaji 1935-1938 di kediamannya di Setiabudi, Jakarta Selatan.
Sedangkan menurut Mashud Ma’dani (58), ketika tinggal di Kuningan, sejak kecil ia oleh ayah dan kakeknya selalu dibawa ke tempat kediaman para kyai. Kyai yang dihormati warga Kuningan saat itu adalah Guru Mughni, yang masjid dan makamnya hingga kini terdapat di kawasan segitiga emas.
Sejumlah ulama Betawi, seperti KH Abdullah Sjafi’i, KH Taher Rohili, KH Nur Ali dan KH Mursidi keduanya dari Bekasi, merupakan pejuang dan anti penjajahan. Seperti KH Nur Ali, pesantrennya di Bekasi pada masa revolusi fisik dijadikan sebagai basis perlawanan terhadap Belanda. Seperti dituturkan Irwan Sjafi’ie, banyak para ulama Betawi termasuk KH Mughni yang mengirimkan pemuda-pemuda untuk bergabung dengan KH Nur Ali. Karena itu pantas pemerintah mengabadikan nama jalan di Bekasi dengan nama kyai kondang yang pahlawan bangsa tersebut.
Pada dasarnya, orang Betawi anti penjajah. Hingga pada masa penjajahan mereka tidak ingin sekolah umum yang dibangun pemerintah kolonial. Di samping anti penjajah, juga sebagai penolakan kristenisasi yang dilakukan pihak kolonial kala itu. Tidak heran setelah kemerdekaan, banyak warga Betawi yang butahuruf Latin. Tapi mereka bisa membaca dengan fasih huruf Arab. ”Mereka bisa membaca huruf Arab gundul seperti membaca koran,” kata Irwan.
Ridwan Saidi dalam buku ”Betawi Dalam Prospektif Kontemporer” menulis : Islam memberi eksistensi akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan. Zikir, ratib, pembacaan maulid, manasik Syekh Saman semuanya merupakan ekspresi pengagungan pada asma Allah, sekaligus pernyataan diri Isjhadu bi ana Muslimin (saksikanlah kami orang Islam). Suatu ekspresi teologi yang nyaris sepi dari politik, tapi nyatanya orang Belanda dibikin tidak berkutik.”
Penolakan terhadap pendidikan Belanda, kata H Irwan, menunjukkan bahwa orang Betawi jauh sebelum proklamasi menolak bekerjasama dengan Belanda. Termasuk para alim ulamanya. Tapi sesuai dengan pesan para kyai: ”Tangan kanan memberi tangan kiri tidak boleh tahu”, banyak pejuang Betawi yang tidak ingin menonjolkan diri. Mereka berjuang benar-benar lillahi ta’ala.
Ketika penjajah hengkang, dan sudah banyak warga Betawi yang memasuki sekolah pemerintah, pengajian justru bertambah ramai. Setelah sekolah, mereka mengaji, baik siang, sore, dan malam hari pada kyai dan ustadz yang banyak di kampung-kampung.
KH M Syafi’i Hadzami (74), mantan ketua umum MUI Jakarta yang memimpin tidak kurang 30 majelis taklim di Jakarta, ketika berumur 9 tahun sudah khatam Alquran. Ia juga telah menulis belasan buku kitab kuning. Sejak kecil ia sering diajak keluarganya untuk ngaji dan zikir di tempat KH Abdul Fatah (1884-1947) di Batutulis, Jakarta Pusat.
Umumnya, para ulama Betawi memiliki banyak guru. Seperti almarhum KH Abdullah Sjafi’i. disamping menjadi murid Habib Ali Alhabsyi, juga murid dari H Marzuki dari Rawabangke (kini Rawabunga) Jatinegara. Dia juga belajar dengan sejumlah Habaib seperti H Alwi Alhadad (mufti Johor), Habib Salim Djindan (Jakarta), dan sejumlah kyai sepuh lainnya. Demikian pula dengan KH Abdurahman Nawi, yang memimpin dua buah pesantren di Depok dan sebuah di Tebet, belajar dengan belasan orang guru agama, termasuk Sayid Abbas Al-Maliki Mekah.
Beberapa kyai Betawi yang namanya diabadikan untuk nama tempat dan jalan adalah Guru Mansyur, yang telah menulis 19 kitab berbahasa Arab. Di samping KH Ali Alhamidy, penulis produktif, disamping naskah khutbah Jumat yang disebarkan di masjid-masjid Jakarta. KH Abdullah Syafi’ie yang wafat 3 September 1985 melalui siaran radio Asyafiiyah dan khotbah-khotbahnya selalu menyerang kemungkaran. Hingga dia dijuluki ”Kyai yang membabat hutan belantar”.
Ketika Ali Sadikin pada 1960’an menggelar hwa-hwe ia tanpa mengenal ampun menentang habis-habisan. Sosok KH Abdullah Syafi’ie, menurut pandangan mantan Menag Tarmizi Taher adalah ulama yang dalam hidupnya berpaham politik Masyumi, tapi paham agamanya NU.
Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren — sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok — KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Termasuk belasan orang yang telah menjadi penghafal (hafidz).
Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.
Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Alhabsyi, putera Habib Muhammad Alhabsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid wanita ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Alhazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Alhamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Alhamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Perjuanjgannya kemudiann diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo alim ulama Betawi ke DPR menolak SDSB.
Keluarga Jamalullain termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluiarga Jamalulail.
Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi jurudakwah yang handal. Mereka telah memelopori berdirinya surau-surau di Jakarta — yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujitaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Usman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggbunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri.
Kanak-kanak yang mendengar beduk bergembira, lalu belarian ke jalan raya sambil bernyanyi. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui beduk. Akibatnya, seringkali lebaran dirayakan dalam waktu berbeda. Guru Mansyur memahami hal ini. Karena itu, ia memperdalam ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab.
Dalam adat Betawi, guru dipandang orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya. Ia menguasai kitab-kitab agama dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas guru ada dato’. Dia menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah guru ada mualim. Di bawah mualim adalah ustadz, pengajar pemula agama. Di bawah ustadz ada guru ngaji, yang mengajar anak-anak untuk mengenalk huruf Arab.
(Alwi Shahab) © 2006 Hak Cipta oleh Republika Online