Archive for September, 2007

Berkah Orang Berpuasa

Oleh Habib Luthfiy

RASULULLAH pernah memberikan doa kepada sahabat Anas tiga perkara, antara lain memberikan doa berkah atau barokah dalam umurnya. Kemudian, barokah dalam rezekinya dan yang ketiga barokah putra putrinya.

Dari doa tersebut, sahabat Anas diberi umur panjang oleh Allah SWT hingga 166 tahun, Subhanallah. Meski usianya jauh di atas rata-rata orang lain, tetapi fisik sahabat Rasulullah tersebut tidak mau kalah dengan seseorang yang berusia di bawah 60 tahun.

Pandangan dan pendengarannya masih tajam. Selain itu, pikirannya tidak melemah atau pikun. Bahkan sebaliknya, daya ingatannya masih cukup tajam.

Terbukti, sahabat Anas bukan hanya bisa menghafal puluhan hadist, namun ribuan hadist.

Dalam menjalankan taatnya kepada Allah untuk beribadah, fisik beliau masih sehat. Shalat sunah tak satupun ditinggalkannya dan dalam bekerja, beliau sangat kreatif. Bahkan setiap ada kegiatan selalu terjun sendiri. Padahal umurnya sudah sedemikian banyak. Hebatnya lagi, semua kegiatan itu dilakukan sejak berusia muda.

Orang yang mendapatkan barokah dari umurnya tersebut tidak tergantung dalam kepanjangan umurnya, tetapi waktu itu dimanfaatkannya untuk menjalankan ibadah selama-lamanya atau mencari berkah dalam ibadahnya.

Semuanya itu tercapai atau ketersampaian, bahkan kelebihan waktu daripada kekurangan waktu. Misalnya, orang membaca Alquran dan tartilnya rata-rata selama empat sampai lima jam, itupun yang hafal Alquran. Namun sabahat Anas bisa melakukannya lebih cepat, yakni selama lebih kurang satu jam katam atau selesai membaca Alquran. Semuanya itu dilakukan karena beliau mendapatkan barokah dari waktu oleh Rasulullah SAW.

Dalam bertani atau mencangkul sawah sekian hektare, biasanya seseorang membutuhkan waktu sekian puluh hari, namun sahabat Rasulullah itu bisa melakukan jauh lebih cepat dan hasilnya pun luar biasa bagusnya.

Selanjutnya barokah dalam rezeki, tidak tergantung daripada rezekinya tersebut. Walaupun kelihatannya rezeki itu lebih kecil, tapi bisa dirasakan semuanya. Contoh, saat kita sama-sama menanak nasi satu kilo. Setelah nasi itu masak, kita bisa melhat bahwa yang kita nanak tidak pas dengan hasil nanakannya. Sedangkan yang sama-sama satu kilo hanya bisa pas untuk dimakan, bahkan terkadang untuk jatah empat orang sudah habis.

Apa yang dihasilkan sahabat Anas, bisa dimakan oleh orang banyak, bahkan sisa. Berikutnya barokah yang ketiga, yakni barokah dalam putra putrinya. Orang mendapatkan barokah tersebut sedikit banyak akan mendidiknya anaknya menjadi anak yang shaleh dan taat kepada Allah Ta’ala serta Rasullah dan kedua kedua orang tuanya.

Dengan demikian, tidak akan menyuarakan kedua orang tuanya di dunia dan akhirat. Kalau bisa saya umpamakan, barokah tersebut seperti garam. Bumbu masak sebanyak apapun, penggunaannya yang paling sedikit adalah garam. Namun meski sedikit, bumbu tersebut sangat bermanfaat dan dibutuhkan. Sebab, seandainya tanpa ada garam, entah bagaimana rasa masakan tersebut.

Melihat hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata yang sedikit sangat berperan dan itulah yang berpengaruh. Yang bisa dipahami dari contoh tersebut bahwa setiap barang yang barokah dapat membuahkan sesuatu yang berfaedah dan manfaat bagi dirinya khususnya, keluarga serta lain-lainnya.

Maka, bila seseorang telah mendapatkan dan mau berusaha memperoleh barokah dari bulan Ramadan, paling tidak akan membentuk individu dan manfaat-manfaatnya. Hasil dari Ramadan bisa mengubah sikap kehidupan, yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Semua itu untuk menghadapi masa depan. Apalagi umur manusia terbatas, pasti akan kembali kepada sang pencipta. Dengan demikian, barokah Ramadan atau berkah orang berpuasa tidak akan menyia-nyiakan hidupnya. (46)

– Habib KH M Luthfiy bin Ali bin Yahya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng.

Kamis, 27 September 2007 Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA

Comments (1) »

Puasa Para Istri Nabi

Melalui perintah puasa, Allah memperlihatkan bukti kasih sayangNya yang tanpa batas kepada manusia. Di antara bentuk kasih sayang itu, adalah diberitahukannya suatu jalan yang dapat menyampaikan ke derajat yang paling mulia dalam pandangan Allah, yaitu menjadi orang yang paling bertakwa (QS Al Hujurat : 13).

Untuk bisa mencapai derajat itu, orang-orang yang beriman diwajibkan melakukan puasa di bulan di Ramadan (QS Al Baqarah: 183). Menahan diri dari lapar, dahaga, hubungan seks serta menghindarkan diri dari larangan Allah, merupakan pekerjaan yang berat. Karena itu, perintah puasa ditujukan kepada orang-orang yang beriman, yang dengan sadar dan ikhlas akan melakukan perintah Tuhannya.

Hakikat perintah dan larangan itu sesungguhnya bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Maka bagi yang berpuasa sesuai dengan tuntunan agama, akan mempunyai kepribadian mutaqin (orang yang takwa). Sedangkan mutaqin akan memperoleh kebahagiaan, antara lain bertempat tinggal di surga (QS Ali Imron : 15) dan diwafatkan dalam keadaan baik (QS An Nahl: 32).

Kasih Allah kepada hambaNya tidak pernah dibedakan. Maka peluang untuk meraih derajat ketakwaan melalui puasa itu diberikan kepada mukmin laki-laki dan perempuan. Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan diberikan kemampuan oleh Allah untuk mencapai prestasi spiritual yang tertinggi, sama dengan laki-laki. Oleh karenanya, kaum perempuan sejak masa Rasulullah sampai sekarang, selalu berusaha untuk dapat melakukan amalan wajib maupun sunah di bulan Ramadan.

Selain menjalankan puasa, para istri Nabi juga melaksanakan ibadah ini malam hari. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa Rasulullah selalu membangunkan keluarganya untuk beribadah pada sebuah malam yang akhir pada bulan Ramadan.

Selain shalat tarwih, para isteri Nabi juga melakukan i’tikaf di masjid. Sampai Aisyah, Hafsah dan Zainab membuat tenda-tenda di masjid. Pada awalnya, Rasulullah tidak suka dengan yang dilakukan mereka, sebab bisa mengganggu konsentrasi jamaah. Untuk mengetahui tanggapan yang berada di masjid waktu itu Rasulullah bertanya ”Menurut kalian, apakah mereka berbuat kebaikan dengan tenda-tenda seperti itu? Dengan keseriusan para istri itu, Rasulullah juga khawatir kalau i’tikaf dianggap ibadah wajib.

Karena itu, maka Rasulullah membatalkan i’tikafnya pada waktu itu dan menggantinya selama sepuluh hari di bulan Syawal. Hal ini mengajarkan pada kita, bahwa i’tikaf untuk mendekatkan diri pada Allah dengan dzikir, tadarus Alquran dan mukhasabah (introspeksi diri) tidak terbatas pada bulan Ramadan.

Mengenai keikutsertaan pada istri Nabi beri’tikaf, sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkan bahwa perempuan lebih baik melakukan ibadah di rumah. Agar terhindar dari madharat, yang terkait dengan urusan keluarga maupun dirinya sendiri. Gangguan keamanan merupakan salah satu yang menjadi bahan pertimbangan, mengingat kondisi geografis dan budaya Arab pada waktu itu, tidak bisa menjamin keselamatan perempuan untuk keluar rumah tanpa muhrim. Namun, bagi istri Nabi tidak dikhawatirkan adanya gangguan, sebab tempat tinggal mereka sangat dekat dengan masjid. Karena itu, Aisyah memberitahukan bahwa Nabi selalu beri’tikaf pada sepuluh malam yang akhir di bulan Ramadan hingga beliau wafat.

Kemudian istri-istri Nabi beri’tikaf seperti itu sepeninggal beliau. Hal itu dilakukan, tentu seizin Nabi setelah mengetahui tidak adanya madharat yang ditimbulkan, akibat ikut sertanya perempuan untuk beri’tikaf di masjid.

Disamping puasa, para istri Nabi juga melakukan kegiatan sosial, yang dilakukan pula di luar bulan puasa. Seperti Aisyah dengan membagikan hartanya kepada fakir miskin, Ummu Salamah mengurus anak-anak yatim, Zainab binti Jahsyi dengan menyantuni anak-anak yatim dan para janda. Karena Zainab mempunyai sifat dermawan, terampil membuat kerajinan,menyamak serta menjahit, sehingga dikenal dengan sebutan ”ibu yang tangannya panjang”. Maksudnya ibu yang suka mengulurkan bantuan bagi yang membutuhkan.

Melalui tangannya Zainab bisa berkreasi dan melatih para janda untuk membuat kerajinan yag dapat mereka jual, dan dengan hartanya, Zainab menolong kaum lemah (dhuafa). (11)

– Prof DR Sri Suhandjati Sukri, Dosen IAIN Walisongo Semarang
Senin, 17 September 2007 Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA

Leave a comment »

Akhlak Orang Berpuasa

Oleh Habib Luthfiy

ADA beberapa hal yang terkait dengan akhlak orang berpuasa. Di antaranya, kita akan mendidik individu atau pribadi masing-masing. Walaupun kenyataannya tidak mudah, tetapi hal itu merupakan sebuah latihan. Misalnya, dengan datangnya bulan Ramadan, di mana sebagai umat muslim diwajibkan untuk dapat menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan.

Puasa tersebut adalah keperluan kita semuanya, sehingga kita harus bisa menerimanya ibadah tersebut dengan dukungan kesadaran hati dan pengertiannya. Maka dengan adanya kesadaran dan menerima atas segala perintah Allah SWT, khususnya dalam puasa Ramadan, dengan kelapangan hati harus menjalankan ibadah tersebut dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian, dalam menjalankan puasa Ramadan akan menambah kesadaran dan ilmu untuk kita. Semakin bertambahnya kesadaran dan ilmu, maka akibatnya bisa membuat kita akan semakin lebih bertafakur kepada perilaku, ketika kita sedang menjalankan ibadah puasa, khususnya mengenai penerapan hati.

Penerapan hati kita tersebut saya kira bisa difungsikan untuk mengekang segala hawa nafsu yang terdapat pada diri kita. Misalnya, menekan sifat-sifat amarah yang ada pada diri kita. Selanjutnya, kita akan merasakan sesuatu saat menjalankan ibadah tersebut, yaitu di waktu kita lapar dan dahaga. Lebih- lebih ketika di tengah siang hari, di mana sifat aku atau ego, ketika dalam lapar dan dahaga ternyata yang ada hanyalah kelemahan.

Ada beberapa hal yang menyebabkan kelemahan faktor tersebut. Antara lain yang pertama, kita akan bisa melihat kelak bila kembali ke haribaan Allah, yaitu dibangkitkan dari alam kuburnya dan berkumpul di Padang Magsyar.

Pada saat itu, tak ada setetes air pun dan sebutir nasi yang datang untuk melepas rasa dahaga dan laparnya. Terkecuali, harapan mutlak dengan datangnya pertolongan Allah dan semua syafaat dari Baginda Rasulullah SAW. Tidak cukup dari itu, dalam keadaan lapar, dahaga dan menahan panasnya Padang Magsyar, kita akan diminta semua pertanggungjawaban selama kita menjalani hidup.

Hal yang kedua, ketika kita lapar dan dahaga, akan melihat jendela fuqarah al masakin. Bila kita mau tafaqur kepada dua hal tersebut, maka akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang membuahkan amal shaleh, saling asah, asih, dan asuh serta mengayomi sesama hamba yang beriman. Khususnya hilang rasa akuisme atau ego yang dimiliki setiap orang, karena kita telah menyadari atas kedhaifan. Hatinya akan hidup, selalu ingat kepada sang pencipta, yaitu Allah Ta’ala dan akan memohon petunjuk dan perlindungannya serta pengayomannya.

Lain dari semua itu, akan tumbuh akhlaqul qarimah untuk membekali dalam menunjuk hidup, sehingga menjadi golongan hamba Allah yang shaleh. Maka, dengan peranan akhlaqul qarimah, dalam bulan suci Ramadan, akan berdampak sisi positif untuk menjadi bekal menemukan Ramadan yang akan datang.(41)

– Penulis adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jateng.
Kamis, 20 September 2007 Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA

Leave a comment »

Amalan Yang Sangat Besar Pahalanya pada Bulan Puasa

Menurut Ali bin Abu Thalib ra yang pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang ibadah salat tarawih di bulan puasa, Allah menjanjikan……

malam
ke….
1 — Allah menghapuskan dosa anda,seperti anda baru lahir dari perut sang ibu
2 — Allah menghapuskan dosa anda,dan dosa kedua orang tua anda, bila mereka mukmin
3 — Malaikat dari Arsy mohon kepada Allah agar diterima ibadah anda serta dihapuskan dosa-dosa anda yang telah lewat
4 — Diberikan pahala kepada anda sebagaimana pahala orang-orang yang telah menbaca Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran
5 — Diberikan pahala kepada anda sebagaimana pahala orang yang menjalankan salat di Masjidil-Haram Mekah,Masjid Nabawi Medinah, serta Masjidil-Aqsha Jerusalem
6 — Diberikan pahala kepada anda sebagaimana pahala mereka yang tawaf di Baitulmakmur, serta seluruh batu dan bata pada bangunan itu memintakan ampunan atas dosa-dosa anda
7 — Diberikan pahala kepada anda sebagaimana pahala orang yang ikut Nabi Musa as melawan Fir’aun dan Haman
8 — Diberikan pahala kepada anda seperti yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim as
9 — Akan diberikan pahala kepada anda sesuai dengan ibadah seorang nabi
10 — Allah akan memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat

11 — Akan dihapuskan dosa anda bila anda meninggal, seperti anda baru keluar dari perut ibu
12 — Pada hari kiamat, anda akan bangkit dengan muka cemerlang seperti bulan
13 — Pada hari kiamat, anda akan bebas dari ketakutan yang membuat manusia sedih
14 — Para malaikat memberikan kesaksian salat tarawih anda dan Allah tidak menghisab anda lagi
15 — Anda akan memerima selawat dari para malaikat, termasuk malaikat penjaga Arsy dan Kursi
16 — Anda akan mendapat tulisan “selamat” dari Allah, anda bebas masuk surga dan lepas dari api neraka
17 — Allah akan memberi pahala kepada anda sesuai pahala para nabi
18 — Malaikat akan memohon kepada Allah agar anda dan orang tua anda selalu mendapat restu
19 — Allah akan mengangkat derajat anda ke Firdaus (surga yang tinggi)
20 — Diberikan pahala kepada anda sesuai pahala para syuhada dan salihin

21 — Allah akan membuatkan sebuah bangunan dari cahaya untuk anda di surga
22 — Anda akan merasa aman dan bahagia pada hari kiamat karena anda terhindar dari rasa takut yang amat sangat
23 — Allah akan membuatkan sebuah kota untuk anda di dalam surga
24 — Allah akan mengabulkan 24 permohonan anda selagi anda masih hidup di dunia
25 — Anda akan bebas dari siksa kubur
26 — Allah akan mengangkat derajat amal kebaikan anda sebagaimana derajat amal kebaikan anda selama 40 tahun
27 — Anda akan secepat kilat bila melewati Siratalmustaqim nanti
28 — Akan dinaikkan derajat anda 1.000 kali oleh Allah di dalam surga kelak
29 — Allah akan memberi pahala kepada anda seperti anda menjalani ibadah haji 1.000 kali yang diterima Allah (haji mabrur)
30 — Allah menyuruh kepada anda untuk memakan sebuah buah di surga, minum air kausar, mandi air salsabil (air surga) karena Allah Tuhan anda dan anda hamba Allah yang setia

[M. Bagir Syech Shahab]
lembaran majalah alkisah nomor 19 tahun 2007

risalah sederhana oleh Drs. HM Yusuf Sholeh, M.Pd

Leave a comment »

Etika Sholat Tarawih

Dari Aisyah bahwa Rasulullah s.a.w. pada suatu malam (di bulan Ramadhan) mendirikan sholat, lalu datang orang-orang pada berikutnya (ingin sholat bersama beliau). Kemudian datanglah malah ketiga atau keempat dan orang-orang pun sudah berdatangan, namun beliau tidak keluar. Saat pagi datang beliau bersabda:”Aku telah melihat yang kalian lakukan, dan aku tidak keluar karena aku takut sholat itu nantinya diwajibkan kepada kalian”. (H.R. Muslim).

Dari Abdurrahman bin al-Qari berkata” suatu malam di bulan Ramadhan aku berjalan bersama Umar bin Khattab melihat-lihat masjid, lalu beliau melihat orang-orang berbeda-beda dalam mendirikan sholat (sunnah), sebagian sholat sendiri, sebagian sholat bersama kelompok kecil. Lalu Umar berkata: “Aku melihat seandainya mereka dikumpulkan di belakang satu qari (pembaca Qur’an) tentu lebih baik. Lalu beliau menganjurkan agar semua sholat di belakang Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar bersama Umar pada malam lain dan orang-orang sudah sholat berjamaah di belakang imam satu, lalu Umar berkata:”Inilah sebaik-baik bid’ah, dan sholat yang mereka tinggalkan untuk tidur tetap lebih baik dibandingkan dengan sholat yang mereka dirikan” (maksudnya sholat malam di akhir malam lebih utama dibandingkan dengan sholat di awal waktunya). R. Bukhari dan Muslim.

Hadist di atas merupakan salah satu dalil sholat tarawih. Tarawih merupakan kata plural dari raahah yang artinya istirahat. Konon disebut sholat tarawih karena pada saat umat Islam melaksanakan sholat tersebut secara berjamaah, mereka malakukan istirahat setiap dua kali salam. Sholat tarawih hukumnya sunnah muakkadah pada malam bulan suci Ramadhan.

Ibnu hajar menjelaskan, hadist-hadist sahih di atas tidak menjelaskan jumlah rakaat sholat tarawih, yakni berapa rakaat sholat tarawih berjamaah yang diimami Ubay bin Ka’ab? Riwayat berbeda-beda tentang itu. Imam Malik dalam Muwatta’ meriwayatkan 11 rakaat. Riwayat lain mengatakan setiap rakaat membaca 200 ayat sehingga para sahabat ada yang berpegangan tongkat karena panjangnya sholat. Riwayat Muhamad Yusuf mengatakan 13 rakaat. Riwayat Saib bib Yazid mengatakan 20 rakaat. Riwayat lain dari Abu Yusuf mengarakan 21 rakaat. Yazin bin Ruman mengatakan:” Orang-orang mendirikan sholat pada zaman Umar sebanyak 23 rakaat. Riwayat Dawud bin Qais mengatakan: Aku melihat orang-orang pada masa Aban dan Utsman dan Umar bin Adbul Aziz melaksanakan sholat tarawih sebanyak 36 rakaat dan melakukan witir 3 rakaat. Inilah yang menjadi salah satu pendapat imam Malik. Riwayat dari Syafi’I mengatakan:” Aku melihat orang-orang sholat Tarawih di Madina sebanyak 39 rakaat dan di Makkah 23 rakaat. Tirmidzi mengatakan bahwa riayat paling banyak tentang rakaat tarawih adalah 41 rakaat termasuk witir.

Pendapat Empat Madzhab:

Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali melaksanakan shoalt Tarawih dengan 20 rakaat. Imam Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan bahwa landasan yang digunakan adalah riwayat sahih dari Saib bin Yazid yang mengatakan bahwa sholat Tarawih pada zaman Umar r.a. dilaksanakan 20 rakaat. Madzhab Maliki melaksanakan sebanyak 39 rakaat sesuai riwayat ahli Madinah. Sebagaimana diketahui madzhab Maliki menganggap tindakan ahli Madinah merupakan dalil yang bisa dijadikan landasan.

Pelaksanaan sholat tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saat ini tetap mengacu kepada pendapat madzhab resmi pemerintah Saudi Arabia, yaitu Hanbali dengan pelaksanaan sebanyak 20 rakaat. Namun pada malam ke-20 Ramadhan hingga akhir bulan, di kedua masjid agung tersebut juga dilaksanakan sholat qiyamullail sebanyak 10 rakaat dimulai sekitar pukul 12 malam hingga menjelang sahur. Pelaksanaan sholat qiyamullail ini tidak jauh berbeda dengan tarawih, hanya ayat yang dibaca lebih panjang sehingga masa sholat juga lebih lama.

Mengacu pada Sholat Malam Rasulullah

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan sholat tarawih adalah mengacu pada sholat malam Rasulullah. Pendapat ini diikuti beberapa ulamamutaakhiriin. Jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah adalah sebagai berikut :

1. 11 rakaat terdiri dari 4 rokaat x 2 + 3 rakaat witir. Ini sesuai dengan hadist A’isyah yang diriwayatkan Bukhari.
2. 11 rakaat terdiri dari 4 rokaat x 2 + 2 rakaat witir + 1 witir. Ini sesuai dengan hadist Ai’syah riwayat Muslim.
3. 11 rakaat terdiri dari 2 rokaat x 4 & 2 rakaat witir + 1 witir. Ini juga diriwayatkan oleh Muslim.
4. Ada juga riwayat Ibnu Hibban yang mengatakan 8 rakaat + witir.
5. Ada juga riwayat yang mengatakan 13 rakaat termasuk witir.

Itulah riwayat dan pendapat seputar rakaat sholat Tarawih. Ini masalah furu’iyah yang sudah lama dikaji oleh para ulama terdahulu. Mau melakukan yang mana, silahkan memilih sesuai keyakinan masing-masing. Tidak masanya lagi kita mempermasalahkan berapa rakaat sholat tarawih yang sebaiknya kita laksanakan. Semuanya pendapat ada dalilnya. Yang terpenting adalah kualitas ibadah kita dan niat baik memeriahkan bulan Ramadhan. Allah Maha Bijaksana dalam menilai ibadah kita masing-masing

Etika Sholat Tarawih

1. Berjamaah di masjid, disunnahkan untuk semua kalangan laki-laki dan perempuan. Bagi kaum lelaki disunnahkan menggunakan pakaian yang rapi dan bersih ketika ke masjid, sambil memakai wangi-wangian. Kaum perempuan sebaiknya juga menggunakan pakaian yang rapi, menutupi aurat (aurat wanita di luar rumah adalah hanya muka dan telapak tangan yang boleh kelihatan),
berjilbab, tidak menggunakan wangi-wangian dan make up. Kaum perempuan juga menjaga suara dan tindakan agar sesuai dengan etika Islami selama berangkat ke masjid dan di dalam masjid.

2. Membawa mushaf atau al-Qur’an, atau HP yang dilengkapi program al-Qur’an sehingga selama mengisi waktu kosong di Masjid bisa dimanfaatkan untuk membaca al-Qur’an.

3. Sebaiknya mengikuti tata cara sholat tarawih sesuai yang dilakukan imam. Kalau imam sholat 8 rakaat + 3 rakaat witir, makmum mengikuti itu. Bila ia ingin menambahi jumlah rakaat, sebaiknya dilakukan di rumah. Kalauimam melaksanakan sholat 20 rakaat maka sebaiknya mengikutinya. Bila ia ingin hanya melaksanakan 8 rakaat, maka hendaknya ia undur diri dari
jamaah dengan tenang agar tidak mengganggu jamaah yang masih melanjutkan sholat tarawih. Ia bisa langsung pulang atau menunggu di masjid sambilmembaca al-Qur’an dengan lirih dan tidak mengganggu jamaah yang sedang sholat.

4. Bagi yang berniat untuk sholat malam (tahajud) dan yakin akan bangun malam, sebaiknya undur diri dari jamaah dengan tenang (agar tidak mengganggu yang masih sholat witir) pada saat imam mulai melaksanakan sholat witir. Malam harinya ia bisa melaksanakan sholat witir setelah tahajud. Bagi yang tidak yakin bisa bangun malam untuk sholat malam (tahajud), maka ia sebaiknya mengikuti imam melaksanakan sholat witir dan malam harinya dia masih disunnahkan melaksanakan sholat malam (tahajud) dengan tanpa melaksanakan witir.

5. Usai melaksanakan sholat tarawih sebaiknya langsung pulang ke rumah dan istirahat atau mengerjakan tugas-tugas belajar bagi yang masih sekolah atau kuliah.

Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bissowab

Oleh: Ustadz Muhammad Niam
Website: http://www.pesantre nvirtual. com

Leave a comment »

Marhaban Ya Ramadhan!

Oleh: Ustadz Muhammad Niam

Bulan Ramadhan telah datang. Bulan yang oleh Allah subhanahu wata’ala dihimpun di dalamnya rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itqun minan naar (terselamatkan dari api neraka). Bulan Ramadhan juga disebut dengan “shahrul Qur’an”, bulan diturunkannya al-Qur’an yang merupakan lentera hidayah ketuhanan yang sangat dibutuhkan umat manusia dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat.

Melalui puasa Ramadhan, Allah SWT menguji hamba-Nya untuk mengendalikan nafsu dan perutnya, serta memberikan kesempatan kepada kalbu untuk menembus wahana kesucian dan dan kejernihan rabbani. Puasa Ramadhan merupakan pokok pembinaan iman Islami, untuk menyempurnakan amal ibadah, untuk mendapatkan maghfirah (ampunan) dan ridlwan (keridlaaan) dari Allah Yang Maha Agung.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT mengistemewakan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan lainnya dengan menurunkan Al-Qur’an di dalamnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat mashur juga dikatakan bahwa kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu juga diturunkan pada bulan Ramadhan. Kitab nabi Ibrahim (suhuf) diturunkan pada
malam pertama bulan Ramadhan, kitab Zabur diturunkan kepada nabi Dawud pada malam kedua belas bulan Ramadhan, kitab Taurat diturunkan kepada nabi Musa pada malam keenam bulan Ramadhan dan kitab Injil kepada nabi Isa diturunkan pada malam ketiga belas bulan Ramadhan. Kitab-kitab tersebut merupakan petunjuk bagi umat manusia ke jalan yang benar dan penyelamat dari jalan yang sesat. Maka bulan Ramadhan dalam sejarahnya merupakan bulan dimulainya gerakan membasmi kemusyrikan di muka bumi, menghancurkan kekufuran, menepis kedengkian, melawan kebatilan dan kemungkaran, hawa nafsu serta kesombongan.

Ramadhan pada masa ini merupakan media utama pembinaan iman seorang mukmin, melalui ibadah puasa yang mempunyai dimensi pelatihan fisik (jasadiyah) dan metafisik (ruhiyah) yang diharapkan akan mengantarkannya menjadi seorang muslim yang sempurna. Firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah: 183-185, kutiba alaikumush shiyam (telah difardhukan puasa atasmu), dan faman syahida min kumusy syahra fal yashum (maka barangsiapa di antara kamu menyaksikan hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah) , merupakan dalil pokok bagi kewajiban berpuasa.

Puasa Ramadhan juga merupakan pengendalian diri dari hegemoni nafsu syahwat dan pemisahan diri dari kebiasaan buruk dan maksiat, sehingga memudahkan bagi seorang hamba untuk menerima pancaran cahaya ilahiyah. Fakhruddin al-Razi menjelaskan dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, bahwa cahaya ketuhanan tak pernah redup dan sirna, namun nafsu syahwat kemanusiaan sering menghalanginya untuk tetap menyinari sanubari manusia, puasa merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan penghalang tersebut. Oleh karena itu pintu-pintu mukashafah (keterbukaan) ruhani tidak ada yang mampu membukanya kecuali dengan puasa.

Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa puasa adalah seperempat iman, berdasar hadis Nabi: Ash shaumu nisfush shabri, dan hadis Nabi saw: Ash Shabru Nisful Iman. Puasa itu seperdua sabar, dan sabar itu seperdua iman. Dan puasa itu juga ibadah yang mempuyai posisi istimewa di mata Allah. Allah berfirman dalam hadis Qudsi: “Tiap-tiap kebajikan dibalas dengan sepuluh kalilipat, hingga 700 kali lipat, kecuali puasa, ia untuk-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya” .

Imam Ghozali juga menjelaskan bahwa puasa mempunyai tiga tingkatan.
Pertama puasa kalangan umum, yaitu menjaga perut dan alat kelamin dari memenuhi shawatnya sesuai aturan yang ditentukan.
Kedua adalah puasa kalangan khusus, yaitu selain puasa umum tadi dengan disertai menjaga
pendengaran, penglihatan, mulut, tangan dan kaki serta seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan maksiat.
Ketiga, yang paling tinggi, adalah puasa kalangan khususnya khusus, yaitu puasa dengan menjaga hati dan pemikiran dari noda-noda hati yang hina dan dari hembusan pemikiran duniawi yang sesat serta memfokuskan keduanya hanya kepada Allah. Inilah puncak kontemplasi hamba dengan Allah SWT.

Marilah kita bersiap-siap memasuki bulan Ramadhan ini dengan kesiapan diri yang prima, dengan perasaan yang tulus ikhlas untuk menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan. Marilah kita mantapkan hati dan jiwa kita dalam memperoleh kemuliaan puasa Ramadhan, sehingga mengantarkan kita pada satu format kehidupan yang lebih baik. Bulan Ramadhan kita jadikan
momentum pembersihan diri dari dosa dan angkara murka dan penyadaran hati nurani kemanusiaan kita. Puasa jangan hanya kita laksanakan dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum, namun yang paling substansial adalah menjadikannya upaya pengekangan diri dari segala bentuk hawa nafsu yang merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Puasa Ramadhan merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas dimensi keagamaannya.

Pertama, dimensi teologis dan spiritualitas yang tercermin dalam komunikasi antara manusia dan Tuhannya, sehingga memungkinkan dalam diri semakin berkembang sifat-sifat ketuhanan yang sebenarnya sudah kita miliki, yakni sifat-sifat positif untuk berbuat kebajikan dan tertanam kepekaan hati nurani dlam bertingkah laku.

Kedua, dimensi sosial. Yaitu tumbuhnya kesadaran sosial dalam batin kita untuk peduli bukan saja pada hal yang hanya berkaitan dengan aspek transendental dan ritual keagamaan, tetapi juga peduli dengan aspek-aspek sosial kemanusiaan. Kepedulian sosial bisa direfleksikan dengan
keprihatinan terhadap kondisi sosial yang terdapat dalam realitas empiris. Kualitas kesadaran batin dapat diukur dengan tingkat kepedulian terhadap realitas sosial tersebut, seperti ketaatan kepada pemimpin, hormat dan berbakti kepada orang tua, menyantuni anak yatim dan orang-orang miskin, membela orang yang tertindas hak dan martabatnya, keberanian melakukan
kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ketiga, dimenisi mental. Dengan berpuasa akan terwujud dalam diri kita mental tegar dan tahan banting, sehingga mampu untuk mengahadapi berbagai tantangan, cobaan, godaan, dan ujian dalam kehidupan ini. Kita senantiasa mampun untuk optimistis dalam berikhtiar dan berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik dengan tetap mengacu pada nilai-nilai etika dan moral agama. Puasa juga akan melatih mentalitas kita untuk sportif dan jujur dalam menerima amanat dan mengemban tugas, menjauhi sikap pengecut dan khianat dan tidak mudah mengumbar emosi amarah dan permusuhan.

Keempat, dimensi etika. Dengan menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan benar dan berkualitas, maka akan tercermin dalam diri kita nilai-nilai etika dan moral agama yang sangat positif untuk diaktualisasikan dalam pola kehidupan kita sehari-hari, seperti: (1) kemampuan menghadirkan alternatif-alternat if terbaik, dalam pola berpikir, bersikap, dan bertingkah laku; (2) kemampuan dalam mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan negatif, subjektivitas, maupun emosional destruktif. Dan kemampuan mengarahkan diri sendiri kepada kebenaran, sifat obyektif dan konstruktif; (3) kemampuan untuk menahan diri dari jebakan materialistik dan hedonistik; (4) kemampuan moralitas dalam melakukan tugas dan kewajiban melalui pertimbangan rasionalitas dan hati nurani.

Puasa Ramadhan dan serangkaian ibadah lain yang menyertainya selama sebulan penuh, merupakan “kawah condrodimuko” bagi seorang Muslim. Bulan Ramadhan adalah bulan untuk mendidik, melatih, menggembleng kepribadian seorang muslim untuk menjadi lebih baik dan pada gilirannya untuk menjadi seorang muslim yang sejati. Rasulullah bersabda: ‘Rugilah seorang hamba yang menemukan bulan Ramadhan dan ia tidak mendapatkan ampunan-Nya” .
Wallahu a’lam

Website: http://www.pesantre nvirtual. com

Leave a comment »

Etika Sambut Ramadan

Oleh Habib Luthfiy

DALAM segi keimanan, kita merasa menjadi hamba yang beriman dan meyakini keimanan tersebut. Sudah selayaknya atas dasar keimanan itu, dengan adanya bulan Ramadan, yang mana di dalamnya ada nilai-nilai tersendiri. Antara lain, nilai dalam membangun keimanan. Kemudian yang kedua, segi sosial, yakni menjalin hubungan yang erat antarsesama umat.

Selanjutnya yang ketiga, nilai-nilai akhlakul kharimah tersebut akan terbangun lebih kokoh dengan sesamanya selama bulan Ramadan. Walaupun bidang akhlakul kharimah dalam pengamalannya tidak tergantung adanya bulan Ramadan saja. Karena, akhlakul kharimah tersebut merupakan mahkota kehidupan yang harus diamalkan untuk bekal kehidupan sehari-hari.

Untuk itu, saya memberikan contoh yang sekiranya mudah dicerna untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan dalam beretika, adab, dan akhlak, yaitu bagaikan orang menunggu waktu tibanya umat muslim untuk menjalankan shalat.

Ketika terdengar waktu tibanya shalat, mereka terlebih dahulu berwudu, berpakaian relatif rapi (bersih dan suci). Maka pada waktu diperingatkan oleh entah itu bedug, kentongan sebagai tanda datangnya waktu shalat, dan azan sebagai panggilan untuk menunaikan ibadah shalat, mereka bergegas menyiapkannya.

Orang-orang yang telah mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya waktu shalat tersebut akan mendapatkan dua pahala. Pertama, dengan wudunya sebelum waktu shalat tiba dan berpakaian dengan kerapiannya. Kedua, pahala menyambut panggilan shalat (azan).

Begitu pula tentang Ramadan, untuk menyambut bulan suci tersebut, ada beberapa etika yang harus dilakukan. Antara lain, silaturahmi untuk meminta maaf dan saling memaafkan, sehingga dalam menjalankan amal Ramadan, kita dalam keadaan dan kondisi suci dalam beribadah.

Kemudian, mensyiarkan bulan untuk umat (syahrul umah) atau bulan panen amal sholeh. Selanjutnya yang ketiga, mempersiapkan diri dalam segala bentuk yang mengakibatkan membatalkan puasa dan melemahkan imannya.

Maka dari itu, kita wajib mengetahui syarat-syarat dan sunah-sunahnya dalam menjalankan puasa yang merupakan ibadah pada bulan Ramadan. Dari hari pertama menjalankan ibadah puasa Ramadan, hasilnya untuk bekal menjalankan ibadah puasa di hari kedua. Kemudian, hasil dari hari kedua, untuk dijadikan bekal menjalankan ibadah bulan Ramadan yang ketiga, dan demikian seterusnya.

Dengan melakukan beberapa langkah tersebut, pada akhirnya kita akan meraih kemenangan. Dengan kemenangan tersebut, akan dijadikan bekal untuk membangun kembali keimanan saat menghadapi bulan Ramadan yang akan datang.

Dari kemenangan yang pertama, sudah semestinya untuk menemukan kemenangan yang kedua. Dari kemenangan yang kedua, akan menemukan kemenangan ketiga dan seterusnya (setiap hari raya).

Untuk itu, apabila kita bisa memperoleh kemenangan tersebut, pembekalan dengan hari kemenangan itu akan menyempurnakan dalam membangun jiwa dan raga yang nantinya akan membuahkan aroma ketauladanan, khususnya untuk keluarga, sanak famili, tetangga, dan umum pada khususnya serta bangsa pada umumnya, akan tumbuh mekar, iman, dalam jiwa dan kalbunya.

Selanjutnya, sifat-sifat mahmudah (terpuji) nampak dalam individunya. Semakin jelas dalam rasa menjalin tali silaturahmi (persaudaraan) yang tidak semu. Mereka akan selalu asah, asih, asuh, nasihat menasihati, menutupi kekurangan di antara satu dengan yang lain, dalam arti moril.

Kalau mampu, bisa ke materiil. Kemudian, menjunjung tinggi nilai keimanan, dan lebih jauh menjaga dan menghormati dirinya sendiri. Dari itu semua, barang siapa mengerti dan menghormati kehormatannya sendiri, maka mereka akan menghormati orang lain.

Contoh sederhana yang saya ambil, yaitu apabila kita bisa menghormati orang-orang yang di bawah umur kita. Misalnya dari tutur kata sampai perilaku, maka kita akan dihormati dan disegani oleh saudara kita sendiri atau orang lain.

Namun jangan salahkan apabila saudara kita yang seharusnya mendapat suri ketauladanan dari kita yang merasa lebih tua atau apabila saudara kita tidak menghormati kita yang tidak bisa menempatkan diri.

Contoh lainnya, hasil dari Ramadan yang namanya lapar, yaitu tidak memandang bulu, apakah itu kaya atau miskin. Bedanya, si kaya masih ada beras yang digunakan untuk berbuka puasa. Sedangkan sang fuqoro (fakir miskin), di satu sisi lapar. Tapi di sisi yang lain, dia berpikir dan ikhtiar untuk mendapatkan sarana membeli beras. Maka, dengan melihat kelaparan si miskin tersebut, akan menjadi bekal kita memandang ke bawah, terutama bagi yang mampu.

Bisakah kita memberikan dorongan semangat bagi si miskin dalam menjalankan ibadah puasanya? Sebaliknya, bagi yang kurang mampu akan melihat ke bawah pula, sehingga dapat melahirkan sabar dan syukur.

Inilah di antaranya inti dari beberapa hal yang tertulis di atas, yang pertama etika dalam menyambut bulan puasa dan kedua dalam menjalankan ibadah puasa.(60)

– Penulis adalah ketua umum MUI Jateng

Rabu, 12 September 2007 Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA

Comments (2) »

Menyambut Ramadhan dengan Kegembiraan

Sebentar lagi tamu kita yang mulia bulan Ramadhan akan segera tiba. Kita semua sibuk mempersiapkan diri menyambut bulan yang penuh berkah tersebut. Mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan baik-baik adalah amalan yang sangat mulia. Para ulama sholeh terdahulu senantiasa mengkonsentrasikan diri menyambut Ramadhan dengan penuh
keseriusan. Rasulullah s.a.w. pernah berpesan kepada umatnya :”Akan segera datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan. Allah s.w.t. bersama kalian pada bulan itu, maka diturunkanlah rahmat, diampuni dosa-dosa dan dikabulkan do’a dan permintaan. Allah melihat kalian berlomba-lomba dalam kebaikan, lalu diikutkan bersama kalian malaikat-malaikat. Maka tunjukkanlah kepada Allah kebaikan diri kalian, sesungguhnya orang yang rugi adalah mereka yang tidak mendapatkan rahmat Allah”. Dalam al-Quran juga ditegaskan :
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu dari ketakwaan hati.

Berikut ini adalah sebagian sikap-sikap terpuji yang dilakukan para ulama sholeh terdahulu dalam menyambut bulan suci Ramadhan:

1. Dengan kegembiraan dan kebahagiaan.
Mereka selalu berharap datangnya Ramadhan dan ingin segera menyambutnya dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Yahya bin Abi Katsir meriwayatkan bahwa orang-orang salaf terdahulu selalu mengucapkan doa:”Ya Allah sampaikanlah aku dengan selamat ke Ramadhan, selamatkan Ramadhan untukku dan selamatkan aku hingga selesai Ramadhan”. Sampai kepada Ramadhan adalah kebahagiaan yang luar biasa bagi mereka, karena pada bulan itu mereka bisa mendapatkan nikmat dan karunia Allah yang tidak terkira.

2. Dengan pengetahuan yang dalam.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Ibadah puasa mempunyai ketentuan dan aturan yang harus dipenuhi agar sah dan sempurna. Sesuatu yang menjadi prasyarat suatu ibadah wajib, maka wajib memenuhinya dan wajib
mempelajarinya. Ilmu tentang ketentuan puasa atau yang sering disebut dengan fikih puasa merupakan hal yang wajib dipelajari oleh setiap muslim, minimal tentang hal-hal yang menjadi sah dan tidaknya puasa.

3. Dengan doa
Bulan Ramadhan selain merupakan bulan karunia dan kenikmatan beribadah, juga merupakan bulan tantangan. Tantangan menahan nafsu untuk perbuatan jahat, tantangan untuk menggapai kemuliaan malam lailatul qadar dan tantangan-tantangan lainnya. Keterbatasan manusia mengharuskannya untuk selalu berdo’a agar optimis melalui bulan Ramadhan.

4. Dengan tekad dan planning yang matang untuk mengisi Ramadhan
Niat dan azam adalah bahasa lain dari planning. Orang-orang soleh terdahulu selalu merencanakan pengisian bulan Ramadhan dengan cermat dan optimis. Berapa kali dia akan mengkhatamkan membaca al-Quran, berapa kali sholat malam, berapa akan bersedekah dan membari makan orang berpuasa, berapa kali kita menghadiri pengajian dan membaca buku
agama. Itulah planning yang benar mengisi Ramadhan, bukan hanya sekedar memplaning menu makan dan pakaian kita untuk Ramadhan. Begitu juga selama Ramadhan kita bertekad untuk bisa meraih taubatun-nasuuha, tobat yang meluruskan. Wallahu a’lam

oleh Ustadz Muhammad Niam

Jadwal Harian Untuk Ibu Rumah Tangga di Bulan Ramadhan

Seorang ibu rumahtangga di bulan Ramadhan, waktunya lebih banyak tersita untuk mengurusi kebutuhan rumah tangga, mulai dari membangunkan keluarga, menyiapkan sahur hingga berbuka puasa. Kebanyakan ibu rumah tangga meningkat kegiatan hariannya dibandingkan dari hari-hari biasa. Kondisi ini menyebabkan waktu beribadah baginya betul-betul terbatas, sehingga banyak dari ibu rumah tangga yang justru tidak merasakan suasana rohani dan spiritual bulan Ramadhan.

Wahai saudariku, carilah cara agar waktumu yang terbatas di bulan Ramadhan tidak melupakanmu dari ikut serta merayakan kemeriahan spiritual bulan Ramadhan. Gunakan waktumu yang berharga untuk mengantarkan keluarga anda mengisi bulan Ramadhan dengan baik, namun aturlah agar engkau juga bisa bercengkerama bersama Tuhanmu melalui ibadah. Engkau harus mempelajari seni menggaet pahala dan melakukan ibadah di sela-sela kesibukan harianmu
yang melelahkan.

Contohnya, engkau harus belajar mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan rutin yang selalu kau lakukan setiap hari untuk suamimu, anakmu dan keluargamu, lalu manakala engkau melakukannya, niatkanlah untuk beribadah dan membantu orang puasa. Pekerjaan rutin kalau kita niatkan untuk mengikuti perintah Allah dan rasulNya niscaya menjadi sebuah ibadah yang berpahala. Dari situ kamu selalu mendapatkan dua pahala dalam setiap pekerjaanmu, yaitu pahala dari pekerjaan itu sendiri dan pahala dari ibadah memenuhi perintah Allah. Usahakanlah agar dirimu selalu sadar bahwa amalan yang kau lakukan adalah ibadah dan niatkanlah untuk ibadah. Kesadaran itu penting, karena itulah yang membedakan satu pekerjaan dari hanya sekedar rutin menjadi ibadah. Kata Ibnu Qayyim: ”Orang yang selalu sadar (untuk beribadah) maka pekerjaan rutinnya ibadah, sedangkan orang yang lupa dan lalai maka ibadahnya pun baginya merupakan hal rutin dan kebiasaan saja”.

Jadwal kegiatan ibadah Ramadhan berikut ini, bila bisa diikuti bisa membantu ibu rumah tangga mengkhatamkan al-Qur’an sekali hingga duakali, dengan izin Allah, selama bulan Ramadhan. Jadwal ini hanya sebuah panduan untuk memudahkan membagi waktu dan bukan hal yang mengikat dan wajib diikuti. Tentu pelaksanaannya tergantung pada kondisi dan situasi
masing-masing ibu rumah tangga. Yang jelas kapanpun ada waktu senggang, maka gunakan untuk berdzikir kepada Allah, dzikir adalah ibadah yang boleh dilakukan setiap waktu.

http://www.pesantrenvirtual. com

Leave a comment »

Bulan Sya’ban

Oleh: H. Ahsan Ghozali

Sya’ban adalah salah satu bulan yang mulia. Bulan ini adalah pintu menuju bulan Ramadlan. Siapa yang berupaya membiasakan diri bersungguh-sungguh dalam beribadah di bulan ini, ia akan akan menuai kesuksesan di bulan Ramadlan.
Dinamakan Sya’ban, karena pada bulan itu terpancar bercabang-cabang kebaikan yang banyak (yatasya’abu minhu khairun katsir). Menurut pendapat lain, Sya’ban berasal dari kata Syi’b, yaitu jalan di sebuah gunung atau jalan kebaikan. Dalam bulan ini terdapat banyak kejadian dan peristiwa yang patut memperoleh perhatian dari kalangan kaum muslimin.

Pindah Qiblat
Pada bulan Sya’ban, Qiblat berpindah dari Baitul Maqdis, Palistina ke Ka’bah, Mekah al Mukarromah. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam menanti-nanti datangnya peristiwa ini dengan harapan yang sangat tinggi. Setiap hari Beliau tidak lupa menengadahkan wajahnya ke langit, menanti datangnya wahyu dari Rabbnya. Sampai akhirnya Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkan penantiannya. Wahyu Allah Subhanahu Wata’ala turun. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah; 144)

Diangkatnya Amal Manusia
Salah satu keistimewaan bulan Sya’ban adalah diangkatnya amal-amal manusia pada bulan ini ke langit. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya menyukai amal saya diangkat, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i).

Keutamaan Puasa di Bulan Sya’ban
Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat, “Adakah puasa yang paling utama setelah Ramadlan?” Rasulullah Shollallahu alai wasallam menjawab, “Puasa bulan Sya’ban karena berkat keagungan bulan Ramadhan.”Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
Sepintas dari teks Hadits di atas, puasa bulan Sya’ban lebih utama dari pada puasa bulan Rajab dan bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) lainnya. Padahal Abu Hurairah telah menceritakan sabda dari Rasulullah Shollallu alaihi wasallam, “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan mulia (asyhurul hurum).” Menurut Imam Nawawi, hal ini terjadi karena keutamaan puasa pada bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) itu baru diketahui oleh Rasulullah di akhir hayatnya sebelum sempat beliau menjalaninya, atau pada saat itu beliau dalam keadaan udzur (tidak bisa melaksanakannya) karena bepergian atau sakit.
Sesungguhnya Rasulullah Shollallu alaihi wasallam mengkhususkan bulan Sya’ban dengan puasa itu adalah untuk mengagungkan bulan Ramadhan. Menjalankan puasa bulan Sya’ban itu tak ubahnya seperti menjalankan sholat sunat rawatib sebelum sholat maktubah. Jadi dengan demikian, puasa Sya’ban adalah sebagai media berlatih sebelum menjalankan puasa Ramadhan.
Adapun berpuasa hanya pada separuh kedua bulan Sya’ban itu tidak diperkenankan, kecuali:
1. Menyambungkan puasa separuh kedua bulan Sya’ban dengan separuh pertama.
2. Sudah menjadi kebiasaan.
3. Puasa qodlo.
4. Menjalankan nadzar.
5. Tidak melemahkan semangat puasa bulan Ramadhan.

Turun Ayat Sholawat Nabi
Salah satu keutamaan bulan Sya’ban adalah diturunkannya ayat tentang anjuran membaca sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallu alaihi wasallam pada bulan ini, yaitu ayat: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzab;56)

Sya’ban, Bulan Al Quran
Bulan Sya’ban dinamakan juga bulan Al Quran, sebagaimana disebutkan dalam beberapa atsar. Memang membaca Al Quran selalu dianjurkan di setiap saat dan di mana pun tempatnya, namun ada saat-saat tertentu pembacaan Al Quran itu lebih dianjurkan seperti di bulan Ramadhan dan Sya’ban, atau di tempat-tempat khusus seperti Mekah, Roudloh dan lain sebagainya.
Syeh Ibn Rajab al Hambali meriwayatkan dari Anas, “Kaum muslimin ketika memasuki bulan Sya’ban, mereka menekuni pembacaan ayat-ayat Al Quran dan mengeluarkan zakat untuk membantu orang-orang yang lemah dan miskin agar mereka bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Malam Nishfu Sya’ban
Pada bulan Sya’ban terdapat malam yang mulia dan penuh berkah yaitu malam Nishfu Sya’ban. Di malam ini Allah Subhanahu wata’ala mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang minta belas kasihan, mengabulkan doa orang-orang yang berdoa, menghilangkan kesusahan orang-orang yang susah, memerdekakan orang-orang dari api neraka, dan mencatat bagian rizki dan amal manusia.
Banyak Hadits yang menerangkan keistimewaan malam Nishfu Sya’ban ini, sekalipun di antaranya ada yang dlo’if (lemah), namun Al Hafidh Ibn Hibban telah menyatakan kesahihan sebagian Hadits-Hadits tersebut, di antaranya adalah: “Nabi Muhammad Shollallhu alaihi wasallam bersabda, “Allah melihat kepada semua makhluknya pada malam Nishfu Sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang yang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Thabarani dan Ibnu Hibban).
Para ulama menamai malam Nishfu Sya’ban dengan beragam nama. Banyaknya nama-nama ini mengindikasikan kemuliaan malam tersebut.
1. Lailatul Mubarokah (malam yang penuh berkah).
2. Lailatul Qismah (malam pembagian rizki).
3. Lailatut Takfir (malam peleburan dosa).
4. Lailatul Ijabah (malam dikabulkannya doa)
5. Lailatul Hayah walailatu ‘Idil Malaikah (malam hari rayanya malaikat).
6. Lalilatus Syafa’ah (malam syafa’at)
7. Lailatul Baro’ah (malam pembebasan). Dan masih banyak nama-nama yang lain.

Pro dan Kontra Seputar Nishfu Sya’ban
Al Hafidh Ibn Rojab al Hambali dalam kitab al Lathoif mengatakan, “Kebanyakan ulama Hadits menilai bahwa Hadits-Hadits yang berbicara tentang malam Nishfu Sya’ban masuk kategori Hadits dlo’if (lemah), namun Ibn Hibban menilai sebagaian Hadits itu shohih, dan beliau memasukkannya dalam kitab shohihnya.”
Ibnu Hajar al Haitami dalam kitab Addurrul Mandlud mengatakan, “Para ulama Hadits, ulama Fiqh dan ulama-ulama lainnya, sebagaimana juga dikatakan oleh Imam Nawawi, bersepakat terhadap diperbolehkannya menggunakan Hadits dlo’if untuk keutamaan amal (fadlo’ilul amal), bukan untuk menentukan hukum, selama Hadits-Hadits itu tidak terlalu dlo’if (sangat lemah).”Jadi, meski Hadits-Hadits yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebut dlo’if (lemah), tapi tetap boleh kita jadikan dasar untuk menghidupkan amalam di malam Nishfu Sya’ban.
Kebanyakan ulama yang tidak sepakat tentang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban itu karena mereka menganggap serangkaian ibadah pada malam tersebut itu adalah bid’ah, tidak ada tuntunan dari Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam.
Sedangkan pengertian bid’ah secara umum menurut syara’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah. Jika demikian secara umum bid’ah itu adalah sesuatu yang tercela (bid’ah sayyi’ah madzmumah). Namun ungkapan bid’ah itu terkadang diartikan untuk menunjuk sesuatu yang baru dan terjadi setelah Rasulullah wafat yang terkandung pada persoalan yang umum yang secara syar’i dikategorikan baik dan terpuji (hasanah mamduhah).
Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumiddin Bab Etika Makan mengatakan, “Tidak semua hal yang baru datang setelah Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam itu dilarang. Tetapi yang dilarang adalah memperbaharui sesuatu setelah Nabi (bid’ah) yang bertentangan dengan sunnah.” Bahkan menurut beliau, memperbaharui sesuatu setelah Rasulullah (bid’ah) itu terkadang wajib dalam kondisi tertentu yang memang telah berubah latar belakangnya.”
Imam Al Hafidh Ibn Hajjar berkata dalam Fathul Barri, “Sesungguhnya bid’ah itu jika dianggap baik menurut syara’ maka ia adalah bid’ah terpuji (mustahsanah), namun bila oleh syara’ dikategorikan tercela maka ia adalah bid’ah yang tercela (mustaqbahah). Bahkan menurut beliau dan juga menurut Imam Qarafi dan Imam Izzuddin ibn Abdis Salam bahwa bid’ah itu bisa bercabang menjadi lima hukum.
Syeh Ibnu Taimiyah berkata, “Beberapa Hadits dan atsar telah diriwayatkan tentang keutamaan malam Nisyfu Sya’ban, bahwa sekelompok ulama salaf telah melakukan sholat pada malam tersebut. Jadi jika ada seseorang yang melakukan sholat pada malam itu dengan sendirian, maka mereka berarti mengikuti apa yang dilakukan oleh ulama-ulama salaf dulu, dan tentunya hal ini ada hujjah dan dasarnya. Adapun yang melakukan sholat pada malam tersebut secara jamaah itu berdasar pada kaidah ammah yaitu berkumpul untuk melakukan ketaatan dan ibadah.
Walhasil, sesungguhnya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan serangkaian ibadah itu hukumnya sunnah (mustahab) dengan berpedoman pada Hadits-Hadits di atas. Adapun ragam ibadah pada malam itu dapat berupa sholat yang tidak ditentukan jumlah rakaatnya secara terperinci, membaca Al Quran, dzikir, berdo’a, membaca tasbih, membaca sholawat Nabi (secara sendirian atau berjamaah), membaca atau mendengarkan Hadits, dan lain-lain.

Tuntunan Nabi di Malam Nisyfi Sya’ban
Rasulullah telah memerintahkan untuk memperhatikan malam Nisyfi Sya’ban, dan bobot berkahnya beramal sholeh pada malam itu diceritakan oleh Sayyidina Ali Rodliallahu anhu, Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika tiba malam Nisyfi Sya’ban, maka bersholatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni? Adakah orang meminta rizki, maka akan Aku beri rizki? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka akan Aku selamatkan? Adakah begini atau begitu? Sampai terbitlah fajar.’” (HR. Ibnu Majah)
Malam Nishfu Sya’ban atau bahkan seluruh bulan Sya’ban sekalipun adalah saat yang tepat bagi seorang muslim untuk sesegera mungkin melakukan kebaikan. Malam itu adalah saat yang utama dan penuh berkah, maka selayaknya seorang muslim memperbanyak aneka ragam amal kebaikan.
Doa adalah pembuka kelapangan dan kunci keberhasilan, maka sungguh tepat bila malam itu umat Islam menyibukkan dirinya dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam mengatakan, “Doa adalah senjatanya seorang mukmin, tiyangnya agama dan cahayanya langit dan bumi.” (HR. Hakim). Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam juga mengatakan, “Seorang muslim yang berdoa -selama tidak berupa sesuatu yang berdosa dan memutus famili-, niscaya Allah Subhanahu wata’ala menganugrahkan salah satu dari ketiga hal, pertama, Allah akan mengabulkan doanya di dunia. Kedua, Allah baru akan mengabulkan doanya di akhirat kelak. Ketiga, Allah akan menghindarkannya dari kejelekan lain yang serupa dengan isi doanya.” (HR. Ahmad dan Barraz).
Tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tentang doa yang khusus dibaca pada malam Nishfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada petunjuk tentang jumlah bilangan sholat pada malam itu. Siapa yang membaca Al Quran, berdoa, bersedekah dan beribadah yang lain sesuai dengan kemampuannya, maka dia termasuk orang yang telah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dan ia akan mendapatkan pahala sebagai balasannya.
Adapun kebiasaan yang berlaku di masyarakat, yaitu membaca Surah Yasin tiga kali, dengan berbagai tujuan, yang pertama dengan tujuan memperoleh umur panjang dan diberi pertolongan dapat selalu taat kepada Allah. Kedua, bertujuan mendapat perlindungan dari mara bahaya dan memperoleh keluasaan rikzi. Dan ketiga, memperoleh khusnul khatimah (mati dalam keadaan iman), itu juga tidak ada yang melarang, meskipun ada beberapa kelompok yang memandang hal ini sebagai langkah yang salah dan batil.
Dalam hal ini yang patut mendapat perhatian kita adalah beredarnya tuntunan-tuntunan Nabi tentang sholat di malam Nishfu sya’ban yang sejatinya semua itu tidak berasal dari beliau. Tidak berdasar dan bohong belaka. Salah satunya adalah sebuah riwayat dari Sayyidina Ali, “Bahwa saya melihat Rasulullah pada malam Nishfu Sya’ban melakukan sholat empat belas rekaat, setelahnya membaca Surat Al Fatihah (14 x), Surah Al Ikhlas (14 x), Surah Al Falaq (14 x), Surah Annas (14 x), ayat Kursi (1 x), dan satu ayat terkhir Surat At Taubah (1 x). Setelahnya saya bertanya kepada Baginda Nabi tentang apa yang dikerjakannya, Beliau menjawab, “Barang siapa yang melakukan apa yang telah kamu saksikan tadi, maka dia akan mendapatkan pahala 20 kali haji mabrur, puasa 20 tahun, dan jika pada saat itu dia berpuasa, maka ia seperti berpuasa dua tahun, satu tahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Dan masih banyak lagi Hadits-Hadits palsu lainnya yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin. (Disarikan dari “Madza fi Sya’ban”, karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki, Muhadditsul Haromain).

* Staf pengajar PP. Langitan Widang Tuban. Alumni Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki Makkah
Selasa, 21 Agustus 2007 – oleh : admin http://www.langitan.net

Leave a comment »

Ceramah Agama Habib Munzir Almusawa

Hamdan Lirabbin Khasshana Bi Muhammadin… Wa Anqadzana min Dhulmatil Jahli wad Dayaajiri… Alhamdulillahilladz ii Hadaana, Bi ‘Abdihil Mukhtari man Da’ana, Ilaihi bil Idzni, wa Qad Naadaana, Labbaika Yaa man Dallanaa wa hadaana, Labbaik Yaa Rasulullah……

beliau selalu memulai ceramahnya dengan kalimat ini, dimanapun dan kapanpun, yang artinya “Segala Puji untuk Yang Maha Memelihara, Yang telah memilih kita untuk bersama Muhammad, dan menyelamatkan kita dari Gelapnya Kebodohan dan Kehinaan Dosa, Segala Puji bagi Allah Yang telah memberi kita Hidayah, lewat Hamba Nya yg Terpilih (saw) yang beliau itu telah menyeru kami Kepada Allah dengan Izin Nya, dan Sungguh seruan beliau telah sampai pada kami, Kami datang pada panggilanmu wahai (nabi saw) yang telah membimbing kami dan menyatukan kami, Kami datangi panggilanmu wahai Rasulullah.. “, kalimat kalimat ini diambil dari untaian pembuka Maulid Dhiya’ullami, karangan Gurunya Al Habib Umar bin Hafidh)

Wahai yang hadir didalam perkumpulan orang-orang yang mencintai Nabi Muhammad.., (saw) Wahai sanubari yang terpanggil kedalam Magfirah (pengampunan) Allah.., Wahai sanubari yang kepadamu seruan seruan Ilahi yang tersambung kepada Matahari Hidayah (Allah swt), kepada Matahari kelembutan Nya, kepada Matahari Kasih Sayang, kepada Matahari Pengampunan, kepada Matahari Hidayah dan Keberkahan, kepada Matahari Yang Maha Menentukan Segala Kejadian.
Allah Laa ilaaha illa huu (Allah Yang Tiada Tuhan Selain Dia) Yang tiada tuhan selain Nya, tiada penguasa diatas Nya, tiada pencipta selain Nya, Yang Menguasai Segala Kekuasaan, Yang Berhak atas segala yang berhak di alam, Yang Berhak Mengatur dan Merubah, Yang Berhak Menguasai dan Mengangkat, Yang Berhak Mencabut dan Memberi, Yang Berhak Menghidupkan dan Mematikan, Yang Berhak Memudahkan dan Menyulitkan, Yang Maha Berhak atas segala sesuatu, (Dia) yang Memanggilmu kepada Nya, memanggilmu kepada pengampunan, memanggilmu kepada kedekatan, telah memanggilmu seruan seruan Nya Subhana Wata’ala, telah memanggilmu kasih sayang Nya, telah memanggilmu surga Nya, telah memanggilmu Kelembutan Nya, dengan lidah semulia-mulia lidah utusan Nya Muhammad Rasulullah saw, maka termuliakanlah sanubari yang memahami kehendak Nya, yang menjawab panggilan Nya, yang menjawab seruan Nya, Labbaikallahumma Labbaik, datanglah kehadirat Allah, kepada keridhoan, kepada Keinginan Allah agar engkau termuliakan, agar engkau terampuni, agar engkau berjalan dalam satu shaf dengan kekasih Nya Muhammad.
Berbahagialah mereka yang memahami kehendak Allah, berbahagialah mereka yang memahami apa yang mulia disisi Allah, berbahagialah mereka yang memahami apa yang hina disisi Allah, yang memahami apa-apa yang hina disisi Allah dan yang mulia disisi Allah, berbahagialah mereka dan tiada kebahagiaan selain atas mereka yang memahami Tuhannya, yang memahami penciptanya, yang memahami Allah swt Tuhan sekalian alam, Inilah puncak ma’rifah billah, puncak pemahaman terhadap Allah, inilah puncak dari tasawwuf, inilah puncak dari kedekatan kepada Allah, puncak keimanan, puncak kemurnian, puncak kesucian, Semakin dalam kepahaman seseorang tentang Allah, maka semakin tinggi derajatnya, semakin mulia sujudnya, semakin mulia setiap huruf yang keluar dari lidahnya didalam berdzikir, semakin termuliakan ruku’nya, semakin termuliakan shalatnya, semakin termuliakan ibadahnya, semakin termuliakan setiap langkahnya, semakin termuliakan setiap nafasnya, semakin termuliakan setiap detak jantungnya.
Ketahuilah semakin mereka memahami Allah, semakin dalam ma’rifah billah, pemahaman tentang Allah, maka semakin dalam dan tinggilah derajat seorang hamba kehadirat Allah, Siapakah yang paling memahami Allah?, adakah nama lain selain Muhammad?, siapakah yang paling memahami Allah? Yang paling dekat kepada Allah adalah yang paling memahami Allah, dan yang paling memahami Nya adalah Nabimu Muhammad, Kekasihmu Muhammad, Imammu Muhammad saw wabarik alaihi wa ala aalih, Yang paling memahami Allah adalah yang paling mencintai Allah, dan yang paling dicintai Allah adalah sosok Muhammad Rasulullah saw wabarik alaih wa ala alih.
Maka beruntunglah mereka yang mengikuti Nya, beruntunglah mereka yang mencintai Nya, maka dengan kecintaan terhadap Rasul saw merupakan kesempurnaan keimanan, Siapakah manusia yang paling dekat kepada Allah dan paling tinggi makrifahnya diumat ini, kita mendengar satu nama, Abu Bakar as shiddiq ra, khalifah pertama didalam Islam, orang yang paling dimuliakan setelah Nabi Muhammad didalam umat ini, Sayidina Abu Bakar as shiddiq ra wa ardhaah, dialah yang berkata kepada Rasul : “wahai Rasulullah aku mencintaimu lebih dari pada apa yang kumiliki, lebih dari segalanya dan lebih dari pada diriku sendiri”, ada pertanyaan timbul diantara salah satu hati yang mengatakan apakah terlalu mencintai Rasulullah saw akan menjadi musyrik?, bukankah kecintaan hanya untuk Allah?, Apakah berlebihan mencintai Muhammad berarti mengkultuskan Muhammad?, berarti Abu Bakar as shiddiq musyrik wal’iyadzubilah, karena ia mencintai Rasulullah lebih dari segala sesuatu, lebih dari dirinya sendiri, justru ialah yang paling mulia di ummat ini, karena dengan mencintai Muhammad lah seseorang mencintai Allah, dusta orang mencintai Allah kalau tidak mencintai Muhammad, buktinya Abu Bakar as shiddiq, buktinya Umar bin Khatab yang datang kehadapan Rasul saw dan berkata : “aku mencintai dirimu, lebih dari segala galanya Yaa Rasulullah terkecuali diriku sendiri”, Apa jawaban Rasul saw?, “belum sempurna iman mu wahai Umar”, lalu Umar menjawab “wahai Rasulullah, kini aku mencintai dirimu lebih dari segala-galanya dan diriku sendiri”, Rasul saw menjawab : “Sekarang wahai Umar sempurna keimanan mu”, berarti kesempurnaan keimaan, puncak ma’rifah billah adalah mahabatunnabi Muhammad, (kecintaan penuh pada Nabi Muhammad saw).
Wahai yang hadir, ketahuilah saat-saat yang harus kita gunakan sebelum datangnya saat saat kesulitan, disaat-saat kemudahan, maka ambilah kesempatan untuk terus mendekatkan diri kepada Allah, untuk terus menghiasi dirimu dan siang dan malammu dengan sunah Nabimu Muhammad, Taqarrab ilallah bimahabbatihi wahikmatihi wasunnatih, (mendekat pada Allah dengan mencintai Nabi saw dan mendengarkan hikmahnya dan mengamalkan sunnahnya saw) tiada lagi kedekatan kepada Allah selain dengan ini, kedekatan kepada Allah dengan mengikuti Nabi Muhammad, dengan mengamalkan sunnah Nabi Muhammad, dengan mencintai Nabi Muhammad saw, Berbahagialah mereka yang memahami ini semua.
Kita telah melihat (memahami bahwa) mereka mereka yang dimuliakan Allah, dan mereka yang paling tinggi derajatnya kehadirat Allah swt didalam umat ini, para Khulafa’urrasyidiin , (Abubakar, Umar, Usman dan Ali) apakah perjuangan mereka mengalahkan perjuangan yang lain, masih banyak mereka yang mungkin perjuangannya lebih dari khulafa’urrasyiddin , tapi sanubari mereka yang dipenuhi ahabbatunnabi Muhammad mengangkat derajat mereka setinggi tingginya, Abu Bakar as shiddiq para ulama mengatakan beliau wafat karena racun yang ia minum, mendahului makanan yang disuguhkan kepada Nabi Muhammad, Beliau tidak wafat didalam peperangan, tetapi adakah salah seorang dari syuhada yang mengatasi derajat Abu Bakar as shiddiq?, wallahi tidak ada, apakah ada salah seorang syuhada mengatasi Utsman bin Affan atau Ali bin Abu Thalib?, wallahi tidak ada, tidak ada syuhada dibarat dan timur yang melebihi mereka para Imam Khulafa’urrasyidin.
Bimahabbatihim linabiyyihim Muhammad, (karena kecintaan mereka pada Nabi Muhammad saw) Bi iqtida’ihim (karena kepatuhan mrk pd) Nabi Muhammad, karena iqtida mereka terhadap Rasul, karena kecintaan mereka terhadap Rasul, karena mengikuti daripada ajaran Rasul saw, Perkumpulan ini adalah perkumpulan para pecinta Nabi Muhammad, disinilah majeis ta’lim, disinilah majelis dzikir, disinilah majelis shalawat, disinilah majelis ibadah, disinilah majelis orang-orang yang mendekat kepada Allah, disinilah majelis-majelis orang yang bertobat, disinilah tempat orang yang menginginkan Allah, Masing-masing kelompok punya perkumpulan, ahlul maksiat mempunyai perkumpulan, orang yang mendewa dewakan kemusyrikan punya perkumpulan, orang yang mencintai hal yang batil punya perkumpulan, yang mau berbelanja punya perkumpulan, Para pecinta Muhammad juga mempunyai perkumpulan. .!, Allah memilihku dan kalian berkumpul didalam kelompok para pecinta Muhammad Rasulullah.
Keberkahan ini sedang tumpah kepadaku dan kalian dimalam hari ini, kemuliaan itulah yang sedang menganugerahi aku dan kalian yang berkumpul ditempat ini, maka berbahagialah mereka yang tidak mengecewakan Allah, Adakah orang yang lebih mulia dari mereka yang selalu berusaha tak mengecewakan Allah?, kalau mereka mengecewakan seluruh penduduk di alam asalkan mereka tidak mengecewakan Allah mereka masih ada kemungkinan tertolong, Betapa hinanya mereka yang mengecewakan Allah, yang menjaga perasaan seluruh mahluk di alam, apa gunanya kalau ia mengecewakan Allah.
Maka berbahagialah orang-orang yang mencintai Rasul saw, sosok Aulia shalihin, (para wali yg shalih) sosok sembilan wali Allah yang karena sembilan orang inilah pulau Jawa dari ujung barat ke ujung timurnya mengenal Laa Ilaaha Illallah, Sembilan orang, sekarang dipulau Jawa ada berapa ratus ribu da’I?, apa yang mereka bisa perbuat, zaman dahulu sembilan orang merubah Jawa yang dalam kemusyrikan kedalam kalimat Tauhid, Tegaklah panji Laa Ilaaha illallah Muhammad Rasulullah di pulau ini, yang sebelumnya dipenuhi dengan kemusyrikan dan menyembah berhala, hanya karena sembilan orang, Wallahi tsumma Wallah (demi Allah, sekali lagi demi Allah), tidaklah satu dari mereka (wali songo) terkecuali ahlul mahabbah linnabi Muhammad, para pewaris Nabi Muhammad, penerus generasi dan penerus panji Muhammad Rasulullah, Tidak ada seorang sampai kederajat wali sebelum ia mencintai Muhammad, tidak ada seorang mencapai derajat ma’rifah billah sebelum berjalan dengan sunah Muhammad dan bimbingan Muhammad, atsar (bekas/peninggalan) dari pada perjuangan mereka, pulau Jawa ini dari ujung satu keujung yang lain dipenuhi dengan suara adzan, dipenuhi dengan tarhim di masjid-masjid, dipenuhi dengan orang yang ruku’ dan sujud, dari hanya sembilan manusia, Mereka inilah yang seperti zaman sahabat Rasul saw disebutkan satu dari pada mereka seperti seribu dari pada orang yang lain, ini dizaman para sahabat Rasul, dan dari zaman ke zaman, dan tawaran kemuliaan ini tertumpah kepadaku dan kalian bagi mereka yang menginginkannya, dari pada limpahan anugerah kelembutan Ilahi, yang melamarmu sebagai para pecinta Muhammad, apakah akan kau tolak lamaran Allah untuk mengajakmu mencintai Nabi Nya..?, mengikuti nabi Nya, merindukan nabi Nya, bersama didalam shaf Nabi Nya Muhammad saw.
Siang dan malamku yang penuh maksiat, siang dan malamku yang penuh dosa, sampailah aku dan kalian ditempat ini dipanggil kedalam seruan seruan kemuliaan Nya swt, Maka kitapun masing masing mengumandangkan cara kita untuk merindukan beliau saw, berjalan dengan sunah beliau saw, (semoga) Allah swt membukakan kesempatan dari kesempurnaan dan penerimaan yang besar dihati kita seluas luasnya, untuk menerima anugerah besar ini wahai yang hadir, Biarkan hujan terus turun, biarkan setiap tetesnya menjadi saksi bahwa aku dan kalian adalah pecinta Muhammad Rasulullah, biarkan setiap nafasmu dan detak jantungmu malam ini menjadi saksi bahwa aku dan kalian yang merindukan Nabi Muhammad, semoga ini semua akan berkesinambungan sampai saat sakratul maut, sehingga saat sakratul maut menjadi saksi bahwa aku dan kalian wafat didalam mahabatunnabi Muhammad, didalam cahaya Laa ilaaha illallah, jauhkan keluargamu dari pada membesarkan syiar-syiar yang akan membuatmu terpental dari kelompok orang-orang yang masuk kedalam keridhoan Allah.
Jangan engkau jadikan jeritan yang keras di atas permukaan bumi, mungkin kedua orang tuamu yang telah wafat atau kakekmu yang telah wafat yang menjerit dikuburnya dibawah perut bumi, melihat anaknya didalam kehinaan, didalam memuliakan hal hal yang dihinakan Allah wal’iyaadzubillah, Akan datang suatu saat di Yaumul Qiyamah dimana lidah-lidah menjerit, didalam firman Allah : “MEREKA MENJERIT DAN BERKATA, WAHAI CELAKALAH KAMI MENGAPA KAMI TAK MENJADIKAN SI FULAN SEBAGAI ORANG YANG KAMI CINTAI”, Celakalah aku karena aku tidak mengambil fulan sebagai orang yang kucintai, fulan disini ditafsirkan oleh Imam Ibn Abbas adalah Muhammad Rasulullah, Akan banyak lidah lidah yang menjerit kelak, celakalah aku kenapa tidak kujadikan Muhammad sebagai orang yang kucintai, jeritan ini akan kudengar dan akan kalian dengar, dan akan didengar oleh semua telinga, yang telah diceritakan oleh Allah yang telah memahami kejadian yang akan datang, Yang mengabarkannya adalah Allah, kabar yang datang
dari Allah, bukan dari surat kabar, bukan dari majalah, bukan dari televisi, bukan dari radio, tetapi dari Allah….!, yang mengabarkan akan datang jeritan kelak “celakalah aku karena aku tidak mengambil fulan sebagai kekasih”, Maka janganlah aku dan kalian dikelompok mereka.
Jadikanlah malam malam disaat orang-orang membesarkan syiar-syiar hal yang hina disisi Allah, jadikanlah saat itu aku dan kalian berada didalam syiar yang memuliakan Allah, berada didalam syiar yang mengagungkan Allah swt.

( D o a )

www.majelisrasulullah.org  Sunday, 04 September 2005

Comments (4) »