Perlambang Mengandung Hikmah

Gusti Allah, Yang Rahman dan Rahim, acapkali memberikan perlambang sebelum munculnya kejadian besar, bisa berujud mimpi, bisa suatu fenomena tertentu, bisa juga yang lain, seperti ucapan “orang besar”. Pemberian perlambang mengandung hikmah, agar jika hal besar itu terjadi, kita telah siap, baik secara fisik maupun mental, dan terlebih lagi agar dengan berbagai daya dan sekaligus doa – hal besar itu, jika tidak baik, bisa diminimalisir atau bahkan ditolak agar tidak muncul sama sekali. Tujuh sapi gemuk dan tujuh sapi kurus, adalah perlambang yang diberikan Allah dalam pemerintahan Yusuf AS, yang kemudian ditakwilkan, akan ada tujuh masa subur makmur dan akan disusul dengan tujuh masa susah dan sempit, Yusuf AS yang memegang kendali kekuasaan, segera mengambil langkah persiapan “menangkal yang tidak baik itu”, dengan cara antara lain ketika masa subur makmur, konsumsi diirit-irit sedemikian rupa, guna persiapan menghadapi masa susah, dan ihtiar itu, bisa dibilang berhasil, karena stabilitas sosial politik terkendali di masa yang berbeda itu.

Ketika Kanjeng Nabi Muhammad Saw menyampaikan ayat terakhir dalam Khutbahnya di Haji wadak, “hari ini telah aku sempurnakan agamamu dan aku ridlo islam menjadi agamamu …..dst”, banyak sahabat “bergembira“, karena dengan itu, larangan dan perintah sudah dicukupkan, lain halnya dengan Sahabat Abu Bakar Sidiq Ra, ia bahkan menangis tersedu-sedu, ketika kepadanya ditanyakan, “mengapa kau menangis?” , bukankah apa yang disampaikan Rasulullah adalah berita baik ?, Abu bakar tidak membantahnya hanya dia mengatakan” aku melihatnya dari “sisi yang lain”, kalau agama ini telah disempurnakan oleh Allah, berarti Rasul, penyampai agama ini juga akan tidak lama lagi dipanggil oleh Allah” , itulah yang aku tangiskan, karena tidak lama lagi kita akan berpisah dengan Rasulullah Saw. Tidak lama setelah itu, terdengar berita wafatnya Nabi, reaksi Abu Bakar dan sahabat lain berbeda, Umar misalnya, ia begitu terkejut dan panik, tapi tidak demikian Abu Bakar, mengapa, karena ia memahami perlambang yang diberikan Allah SWT sebelum itu, secara mental Abu bakar lebih siap ketimbang yang lain. “Kebenaran perlambang” itu juga pernah terbukti, ketika dulu di masayarakat kita, burung kecil “perenjak“ dan “ciblek“ mendadak sontak berharga mahal, bahkan mengalahkan burung tenar lainnya semisal cucak rowo, perkutut dan lainnya, tidak lama kemudian disusul dengan munculnya hal nyata, yakni, orang orang yang dahulu ”dipinggirkan“ dan “dianggap kecil”, mendadak dengan reformasi, meraih kekuasaan yang penting diberbagai bidang, baik eksekutip maupun legislatip, di pusat maupun di daerah. Munculnya Inul, dengan goyang “bokongnya” yang menggegerkan, dan bertarip mahal, ternyata juga perlambang, karena tidak lama setelah itu, benar terjadi memang, “bokong berharga mahal”, kursi DPR berharga sekian ratus juta, kursi Bupati sekian milyar, dan meletakkan bokong di suatu kantor untuk satu pekerjaanpun mahal harganya, dan last but not least, meletakkan bokong anak dikursi sekolah pun juga mahal .Al- Hasil “mahalnya bokong Inul” menandai masuknya kita ke zaman “mahal nya meletakkan bokong“ diberbagai bidang. Fenomena yang muncul belakangan ini, barangkali juga bisa dibaca sebagai perlambang, yang perlu diterjemahkan, seperti, merebaknya faham yang nyleneh nyleneh, bertikainya orang besar memperebutkan sesuatu yang tidak jelas, banyak bunuh diri utamanya pada anak anak, dan sebagainya. Penerjemahan lambang itu menjadi amat perlu, agar persiapan bisa segera diselenggarakan, menyambut dan menantinya jika baik, dan berihtiar menolaknya jika itu buruk. Persoalannya kepada siapa kita bertanya, untuk mendapatkan jawaban yang membuka tirai perlambang itu, kepada rumput yang bergoyang? tak mungkin. Pastinya kepada orang yang “suka bergoyang berdzikir” , memusatkan hidupnya untuk Allah, meski belakangan ini, sudah “amat sulit di dapat”, karena banyak dari mereka telah mangkat. Rodliyallahu anhum. Galibnya mereka adalah orang orang yang tak suka pangkat, tak suka berdebat, apalagi bertikai dengan sahabat, mereka tak kenal sekat dalam melayani ummat, mereka adalah orang yang mendapati setiap harinya “iedul fitri” dan setiap malamnya “lailatul qodar”, sentuhan lembut tangannya membuat subur tanah yang gersang, tatapan lembut matanya menyejukkan hati yang dahaga, dan kelembutan senyumnya membuat terang dunia yang gelap gulita, berjuang bagi mereka adalah benar benar pencurahan tenaga, pikiran dan waktu untuk ummat, dan bukan “mengendarai” ummat untuk “kemakmuran pribadi”, apalagi BERJUANG sekedar mencari BERas baJU dan uaNG. Mereka melihat dengan mata hati yang tak pernah kabur dan meleset, mereka dimulyakan bukan karena pakaian dan kedudukan. Kapan dan dimanapun pun kau temukan manusia semacam itu, yang saat ini kayaknya cukup langka, duduk dan bersimpuhlah dihadapannya, bukalah telinga dan mata hatimu, ikuti petunjuk dan arahannya serta tadahkan kedua tanganmu tuk mengaminkan doanya. Robbi Al Hiqni Bissolihin.

Update : 27 / Desember / 2006
Edisi 17 Th. 2-2005M/1426H

Silakan mengutip dengan mencantumkan nama almihrab.com

1 Response so far »


Comment RSS · TrackBack URI

Tinggalkan komentar