Pernikahan Dini, Bukan Sekedar Alternatif

Pernikahan Dini, Bukan Sekedar Alternatif

Oleh: M. Zubaydi Ilyas R.

Pernikahan Dini: Sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternatif—setidaknya menurut penawaran Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagai­mana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali, ketika seks pra nikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku sekolah.

Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiran pun muncul. Nikah di usia remaja, mungkinkah? Siapkah mental dan materinya? Bagai­mana respon masya­rakat? Apa tidak meng­ganggu sekolah? Dan masih banyak sederet pertanyaan lainnya.

Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir: bahwa pernikahan di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi, untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah, seperti yang diilustrasikan oleh senetron tersebut.

Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi

Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.

Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris—dan tidak perlu dipaparkan di sini—bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justeru bisa menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak (Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M. Maslow, pendiri psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya, menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan (ibid).

Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka perceraian meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.

Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali tidak bisa dibantah. Ngeri rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90% mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Akhirnya, kata Fauzil Adhim, kita akan menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan: para gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Na’udzubillah! Untuk menanggulangi musibah kaum remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.

So, dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif.

Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama

Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana dengan agama? Rasulullah saw. bersabda,

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).

Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu? Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencapai aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia lima belas tahun. Ada apa dengan syabab? Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi saw,

“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan tempat tidurnya” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak, juga menyimpan sebuah isyarat bahwa pada usia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, sembilan belas abad yang silam. Kini, dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra. selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih single, dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah.

Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, kita tak perlu risih dengan yang urusan yang begitu krusial dalam sebuah rumah tangga ini. Bukankah Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam surat al-Nur ayat 32 yang artinya, “…dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya, “Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah”.

Dus, apapun masalahnya, yang jelas “dar’ul mafasid muqoddam ala jalbil masholih”.

Buletin Istinbat, Edisi 097

2 Tanggapan so far »

  1. 1

    Adam said,

    Saya sepakat dengan apa yang dikatakan “indahnya pernikahan dini” dan saya adalah orang yang akan mengkampanyekan pernikahan dini.

  2. 2

    Ilyas said,

    Duh, jadi pengen nikah nih… coz kondisi di kampus parah, bnyk godaan, suka salah niat, dll.
    Tapi masalahnya orng tua belum ngizinin, dan ana kesulitan melobi mereka… ada yang punya saran??
    Syukron…
    ane dukung deh bagi yang mo mengkampanyekan nikah dini, coz ana ykin banyak bgt hikmah dari nikah dini…
    Bahkan Syaikh Dr. Aidh Al-Qarny menentang bahwa nikah itu harus selesai kuliah dulu, karena banyak sekali hikmah yang terkandung


Comment RSS · TrackBack URI

Tinggalkan komentar